Selasa, 10 Desember 2013

Rangkum Rancangan Tata Letak dan Pengawasan Produksi Menurut para Ahli (Pengantar Bisnis)

1. RANCANGAN TATA LETAK
A. Definisi Tata Letak Fasilitas
1) Menurut Sritomo (1992, p52), tata letak fasilitas didefinisikan sebagai tata cara pengaturan fasilitas – fasilitas fisik pabrik guna menunjang kelancaran proses produksi.
2) Menurut Apple (1990, p2), tata letak fasilitas didefinisikan sebagai menganalisis, membentuk konsep, merancang, dan mewujudkan sistem bagi pembuatan barang atau jasa. Kegiatan perancangan fasilitas berhubungan dengan perancangan susunan unsur fisik suatu lingkungan.
3) Menurut Tompkins (1996, p1), facilities planning merupakan ilmu yang multi disiplin, dimana berkaitan dengan merencanakan layout fasilitas, memilih material handling sistem, dan menentukan peralatan proses yang diperlukan.

B. Peranan Perancangan Tata Letak Fasilitas
 Menurut Apple (1990, p3), perancangan tata letak fasilitas berperan penting sebagai berikut :
1) Suatu perencanaan aliran barang yang efisien merupakan prasyarat untuk mendapatkan produksi yang ekonomis.
2) Pola aliran barang yang merupakan dasar bagi perencanaan fasilitas fisik yang efektif.
3) Perpindahan barang merubah pola aliran statis menjadi suatu kenyataan yang dinamis, menunjukkan cara bagaimana suatu barang dipindahkan.
4) Susunan fasilitas yang efektif disekitar pola aliran barang dapat menghasilkan pelaksanaan yang efisien dapat meminimumkan biaya produksi.
5) Biaya produksi minimum dapat memberikan keuntungan maksimum.
( Anonim,2012)

2. PERENCANAAN TATA LETAK
1.      Pengertian Tata Letak
Tata letak mencakup desain dari bagian-bagian, pusat kerja dan peralatan yang membentuk proses perubahan dari bahan mentah menjadi bahan jadi. Perencanaan tata letak merupakan satu tahap dalam perencanaan fasilitas yang bertujuan untuk mengembangkan suatu sistem produksi yang efisiesn dan efektif sehingga dapat tercapainya suatu proses produksi dengan biaya yang paling ekonomis.
2.      Tujuan Perencanaan Tata Letak
Tujuan perencanaan lay out/ tata letak yang baik yaitu :
a.              Memaksimumkan pemanfaatan peralatan pabrik
b.              Meminimumkan kebutuhan tenaga kerja
c.              Mengusahakan agar aliran bahan dan produk lancar
d.             Meminimumkan hambatan pada kesehatan
e.              Meminimumkan usaha membawa bahan
Efektifitas dari pengaturan tata letak suatu kegiatan produksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, sebagai berikut :
1.       Penanganan material – perencanaan tata letak harus memperhatikan gerakan dari material atau manusia yang bekerja. Gerakan material akan berdampak pada biaya penanganan material, biasanya mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi biaya produksi.
2.       Utilisasi ruang – utilisasi ruang dan energi merupakan salah satu faktor yang diperhatikan  dalam perencanaa tata letak. Perkembangan teknologi memungkinkan  penataan mesin-mesin tidak dalam arah horizontal, berada dalam satu lantai, melainkan dapat  ke arah vertikal.
3.       Mempermudah pemeliharaan – perawatan mesin selain berpengaruh terhadap mutu produk juga berpengaruh terhadap usia mesin. Tata letak mesin harus menyediakan ruang gerak yang cukup bagi pemeliharaan mesin.
4.       Kelonggaran gerak – perencanaan tata letak tidak saja untuk memperoleh efisiensi ruang tetapi juga harus memperhatikan kelonggaran gerak bagi operatot /karyawan. Selain meningkatkan kepuasan karyawan atas kondisi kerja, kelonggaran gerak dapat mengurangi kecelakaan kerja.
5.       Orientasi produk – jenis produk yang dibuat sangat berpengaruh dalam perencanaa tata letak. Mislanya, produk ukuran besar dan berat, atau memelukan perhatian khusus dalam penangannya, umumnya menghendaki suatu tata letak yang tidak membuat produk dipindah-pindah. Sebaliknya, produk yang berukuran kecil dan ringan yang dengan mudah dapat diangkut akan menjadi lebih ekonomis apabila diproduksi dengan suatu tata letak yang berdasarkan proses.
6.       Perubahan produk atau disain produk – perencanaan tata letak juga memperhatikan perubahan jenis produk atau disain produk. Bagi perusahaan yang jenis produk atau disainnya sering berubah, tata letak mesin harus sefleksibel mungkin dalam mengadaptasi perubahan.
3.      Jenis Tata Letak
Dalam industri manufaktur, secara umum tata letak dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu:
A.      Tata Letak Proses (process layout) /tata letak fungsional – penyusunan tata letak dimana alat yang sejenis atau mempunyai fungsi yang sama ditempatkan dalam bagian yang sama. Misalnya mesin-mesin bubut dikumpulkan pada daerah yang sama, sedemikian pula mesin-mesin potong diletakkan pada bagian yang sama.

Mesin-mesin ini tidak dikhususkan untuk produk tertentu melainkan dapat digunakan untuk berbagai jenis produk.               
Model ini cocok untuk discrete production dan bila proses produksi tidak baku, yaitu jika perusahaan membuat jenis produk yang berbeda. Jenis tata letak proses dijumpai pada bengkel-bengkel, rumah sakit, universitas atau perkantoran.

KELEBIHAN :
1.       Memungkinan utilitas mesin yang tinggi
2.       Memungkinkan penggunaan mesin-mesin yang multi-guna sehingga dapat dengan cepat mengikuti perubahan jenis produksi
3.       Memperkecil terhentinya produksi yang diakibatkan oleh kerusakan mesin
4.       Sangat fleksibel dalam mengalokasikan personel dan peralatan
5.       Investasi yang rendah karena dapat mengurangi duplikasi peralatan
6.       Memungkinkan spesialisasi supervisi
KELEMAHAN :
1.       Meningkatkan kebutuhan material handling karena aliran proses yang beragam serta tidak dapat digunakan ban berjalan
2.       Pengawasan produksi yang lebih sulit
3.       Meningkatnya persediaan barang dalam proses
4.       Total waktu produksi per unit yang lebih lama
5.       Memerlukan skill yang lebih tinggi
6.       Pekerjaan routing, pejadwalan dan akunting biaya yang lebih sulit, karena setiap ada order baru harus dilakukan perencanaan/perhitungan kembali

B.      Tata Letak Produk (product layout) – apabila proses produksinya telah distandarisasikan dan berproduksi dalam jumlah yang besar. Setiap produk akan melalui tahapan operasi yang sama sejak dari awal sampai akhir.

KELEBIHAN :
1.       Aliran material yang simple dan langsung
2.       Persediaan brg dlm proses yang rendah
3.       Total waktu produksi per unit yang rendah
4.       Tidak memerlukan skill tenaga kerja yang tinggi
5.       Pengawasan produksi yang lebih mudah
6.       Dapat menggunakan mesin khusus atau otomatis
7.       Dapat menggunakan ban berjalan karena aliran material sudah tertentu
KELEMAHAN :
1.       Kerusakan pada sebuah mesin dapat menghentikan produksi
2.        Perubahan desain produk dapat mengakibatkan tidak efektifnya tata letak yang bersangkutan
3.       Biasanya memerlukan investasi mesin/peralatan yang besar
4.       Karena sifat pekerjaaanya yang monoton dapat mengakibatkan kebosanan

C.      Tata Letak Posisi Tetap (fixed positon lay out) – dipilih karena ukuran, bentuk ataupun karakteristik lain menyebabkan produknya tidak mungkin atau sukar untuk dipindahkan. Tata letak seperti ini terdapat pada pembuatan kapal lautm pesawat terbang, lokomotif atau proyek-proyek konstruksi
KELEBIHAN :
1.       Berkurangnya gerakan material
2.       Adanya kesempatan untuk melakukan pengkayaan tugas
3.       Sangat fleksibel, dapat mengakomodasi perubahan dalam desain produk, bauran produk maupun volume produksi
4.       Dapat memberikan kebanggaan pada pekerja karena dapat menyelesaikan seluruh pekerjaan
KELEMAHAN :
1.       Gerakan personal dan peralatan yang tinggi
2.       Dapat terjadi duplikasi mesin dan peralatan
3.       Memerlukan tenaga kerja yang berketrampilan tinggi
4.       Biasanya memerlukan ruang yang besar serta persediaan barang dalam proses yang tinggi
5.       Memerlukan koordinasi penjadwalan produksi

PENGAWASAN
Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan . The process of ensuring that actual activities conform the planned activities. (Stoner,Freeman,&Gilbert,1995)
Sedangkan menurut Basu Swasta (1996, hal. 216) "Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan". Pengawasan dapat dipusatkan, dapat didesentralisir tergantung pada karyawannya. Apabila karyawan ahli maka dapat didesentralisir.
Pengawasan dapat dikelompokkan misalnya ke dalam :
1. Pengawasan produksi, yaitu agar hasil produksi sesuai dengan permintaan/pemuasan langganan dalam jumlah, harga, waktu dan servis.
2. Pengawasan persediaan, yaitu menjamin tersedianya bahan dalam jumlah harga, waktu yang tepat sehingga proses produksi tidak terganggu.
3. Pengawasan kualitas, yaitu menjamin agar kualita hasil produksi, bahan dan bahan proses memenuhi ukuran-ukuran standar yang telah ditentukan.
4. Pengawasan ongkos, yaitu menjamin agar produksi/operasi dijalankan dengan ongkos minimum sesuai dengan standar.
Walaupun pengawasan mahal tetapi diharapkan agar hasil pengawasan akan dapat memperbaiki kedudukan perusahaan karena penjualan dapat didorong karena kualita barang lebih unggul dari saingan, atau harganya bersaingan, dan lain-lain. Di dalam pengawasan perlu pula diperhatikan motivasi. Apabila motivasi kerja tidak cukup percuma saja dilakukan pengawasan, karena akibatnya pelaksana akan berbuat sekehendak hati. Hal ini perlu dihindari agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Berdasarkan pada batasan pengertian tersebut di atas dapatlah ditarik suatu simpulan bahwa pengawasan adalah suatu usaha pimpinan yang menginginkan agar setiap pekerjan dilaksanakan seagimana mestinya. Dengan kata lain bahwa tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang objek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. 

1. Maksud dan Tujuan Pengawasan
Terwujudnya tujuan yang dikehendaki oleh organisasi sebenarnya tidak lain merupakan tujuan dari pengawasan. Sebab setiap kegiatan pada dasarnya selalu mempunyai tujuan tertentu. Oleh karena itu pengawasan mutlak diperlukan dalam usaha pencapaian suatu tujuan.
Menurut Situmorang dan Juhir ( 1994:22 ) maksud pengawasan adalah untuk :
1. Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak
2. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru.
3. Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah direncanakan.
4. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak.
5. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning, yaitu standard.

Menurut Rachman (dalam Situmorang dan Juhir, 1994:22) juga mengemukakan tentang maksud pengawasan, yaitu:  
1. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
2. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan instruksi serta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
3. Untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalannya, sehingga dapat diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan kegiatan-kegiatan yang salah.
4. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut, sehingga mendapat efisiensi yang lebih benar.

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa maksud pengawasan adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan segala sesuatunya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak, serta mengukur tingkat kesalahan yang terjadi sehingga mampu diperbaiki ke arah yang lebih baik.

Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan, Maman Ukas (2004:337) mengemukakan:
1. Mensuplai pegawai-pegawai manajemen dengan informasi-informasi yang tepat, teliti dan lengkap tentang apa yang akan dilaksanakan.  
2. Memberi kesempatan pada pegawai dalam meramalkan rintangan-rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja secara teliti dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau mengurangi gangguan-gangguan yang terjadi.
3. Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan, kemudian para pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan dari pada hasil-hasil yang diharapkan.
Sedangkan Situmorang dan Juhir (1994:26) mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah :
1. Agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna (dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol sosial) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.
2. Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparat pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat.
3. Agar adanya keluasan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau kegiatan, tumbuhnya budaya malu dalam diri masing?masing aparat, rasa bersalah dan rasa berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan ajaran agama.

 Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan, Menurut Sule dan Saefullah (2005 : 318-319) ada empat tujuan pengawaqsan tersebut adalah adaptasi lingkungan, meminimumkan kegagalan, meminimumkan biaya, dan mengantisipasi kompleksitas dari organisasi.
1. Adaptasi lingkungan, adalah agar perusahaan dapat terus menerus beradaptasi denganperubahan yang terjadi di lingkungan perusahaan, baik lingkungan yang bersifat internal maupun lingkungan eksternal.
2. Meminimumkan kegagalan, adalah ketika perusahaan melakukan kegiatan produksi misalnya perusahaan berharap agar kegagalan seminimal mungkin.
3. Meminimumkan biaya, adalah ketiga perusahaan mengalami kegagalan.
4.  Antisipasi komplesitas organisasi, adalah agar perusahaan dapat mengantisipasi berbagai kegiatan organisasi yang kompleks.
Sementara tujuan pengawasan menurut Soekarno (dalam Safrudin, 1995 : 36 ) adalah : Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana, yang digariskan,  mengetahui apakah sesuatu dilaksanakan sesuai dengan instruksi serta asas yang ditentukan, mengetahui kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan dalam bekerja, mengetahui apakah sesuatu berjalan efisien atau tidak, dan mencari jalan keluar jika ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan, atau kegagalan ke arah perbaikan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah:
1. Membandingkan antara pelaksanaan dengan rencana serta instruksi-instruksi yang telah dibuat.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja.
3. Untuk mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan, atau dengan kata lain disebut tindakan korektif. 

2. Macam Teknik Pengawasan
Disarikan dari pendapat Koontz, et. al. (dalam Hutauruk, 1986 : 298-331) tentang teknik pengawasan, terdapat dua cara untuk memastikan pegawai merubah tindakan/sikapnya yang telah mereka lakukan dalam bekerja, yaitu dengan dilakukannya pengawasan langsung (direct control) dan pengawasan tidak langsung (indirect control). Pengawasan langsung diartikan sebagai teknik pengawasan yang dirancang bangun untuk mengidentifikasi dan memperbaiki penyimpangan rencana. Dengan demikian pada pengawasan langsung ini, pimpinan organisasi mengadakan pengawasan secara langsung terhadap kegiatan yang sedang dijalankan, yaitu dengan cara mengamati, meneliti, memeriksa dan  mengecek sendiri semua kegiatan yang sedang dijalankan tadi. Tujuannya adalah agar penyimpangan-penyimpangan terhadap rencana yang terjadi dapat diidentifikasi dan diperbaiki.
Menurut Koontz, et. al, pengawasan langsung sangat mungkin dilakukan apabila tingkat kualitas para pimpinan dan bawahannya rendah. Sementara pengawasan tidak langsung diartikan sebagai teknik pengawasan yang dilakukan dengan menguji dan meneliti laporan-laporan pelaksanaan kerja. Tujuan dari pengawasan tidak langsung ini adalah untuk melihat dan mengantisipasi serta dapat mengambil tindakan yang tepat untuk menghindarkan atau memperbaiki penyimpangan.
 Menurut Koontz, et. al, pengawasan tidak langsung sangat mungkin dilakukan apabila tingkat kualitas para pimpinan dan bawahannya tinggi.

Sementara Bohari (1992:25) membagi macam teknik pengawasan sebagai berikut :
1. Pengawasan preventif, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Pengawasan preventif ini biasanya berbentuk prosedur-prosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan kegiatan. Pengawasan preventif ini bertujuan: 
a. Mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang dari dasar yang telah ditentukan.
b. Memberi pedoman bagi terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara efisien dan efektif.
c. Menentukan saran dan tujuan yang akan dicapai.  
d. Menentukan kewenangan dan tanggung jawab sebagai instansi sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.
2. Pengawasan represif, ini dilakukan setelah suatu tindakan dilakukan dengan membandingkan apa yang telah terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi. Dengan pengawasan represif dimaksud untuk mengetahui apakah kegiatan dan pembiayaan yang telah dilakukan itu telah mengikuti kebijakan dan ketentuan yang telah ditetapkan.
 Pengawasan represif ini biasa dilakukan dalam bentuk: 
a. Pengawasan dari jauh, adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara pengujian dan penelitian terhadap surat-surat pertanggungan jawab disertai bukti-buktinya mengenai kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.
b. Pengawasan dari dekat, adalah pengawasan yang dilakukan di tempat kegiatan atau tempat penyelenggaraan administrasi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka teknik pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik, semuanya tergantung pada berbagai kondisi dan situasi yang akan terjadi, maupun yang sedang terjadi/berkembang pada masing-masing organisasi. Penentuan salah satu teknik pengawasan ini adalah agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan pada tindakan yang telah dilakukan atau agar penyimpangan yang telah terjadi tidak berdampak yang lebih buruk, selain itu agar dapat ditentukan tindakan-tindakan masa depan yang harus dilakukan oleh organisasi.

3. Fungsi-fungsi Pengawasan
Menurut Sule dan Saefullah (2005 : 317) mengemukakan fungsi pengawasan pada dasarnya meruapakan proses yang dilakukan  untuk memastiakan agar apa yang telah direncanakan berjalan sebagaiamana mestinya. Termasuk kedalam fungsi pengawasan adalah identifikasi berbagai faktor yang menghambat sebuah kegiatan, dan juga pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan agar tujuan organisasi dapat tetap tercapai.
Sebagai kesimpulan, fungsi pengawasan diperlukan untuk memastikan apa yang telah direncanakan dan dikoordinasikan berjalan sebagaimana mestinya ataukah tidak. Jika tidak berjalan dengan semestinya maka fungsi pengawasan juga melakukan proses untuk mengoreksi kegiatan yang sedang berjalan agar dapat tetap mencapai apa yang telah direncanakan.
Fungsi dari pengawasan sandiri adalah :
1) Mempertebal rasa tangung jawab dari pegawai yang diserahi tugas dan wewenang dalam pelaksanan pekerjan.
2) Mendidik pegawai agar melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
3) Mencegah terjadinya kelalaian, kelemahan dan penyimpangan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.
4) Memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar dalam pelaksanaan pekerjan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.

4. Tindak Lanjut Pengawasan
 Pada dasarnya pengawasan bukanlah dimaksudkan untuk mencari kesalahan dan menetapkan sanksi atau hukuman tetapi pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui kenyataan yang sesunguhnya mengenai pelaksanaan kegiatan organisasi.

 5. Pentingnya Pengawasan
Ada berbagai faktor yang membuat pengawasan semakin diperlukan oleh setiap organisasi, menurut Siswanto (2009 : 200) adalah :
1. Perubahan lingkungan organisasi. Berbagai perubahan lingkungan organisasi terjadi terus menerus dan tidak dapat dihindari, seperti munculnya inovasi produk dan persaingan baru, diketemukannya bahan baku baru, adanya peraturan pemerintah baru, dan sebagainya. Melalui fungsi pengawasan manajer mendeteksi perubahan-perubahan yang berpengaruh pada barang dan jasa organisasi, sehingga mampu menghadapi tantangan atau memanfaatkan kesempatan yang diciptakan perubahan-perubahan yang terjadi.
2. Peningkatan komplesitas organisasi. Semakin besar organisasi semakin memerlukan pengawasan yang lebih formal dan hati-hati. Berbagai jenis produk harus diawasi untuk menjamin bahwa kualitas dan profitabilitas tetap terjaga, penjualan eceran pada para penyalur perlu dianalisis dan dicatat secara tepat, bermacam-macam pasar organisasi, luar dan dalam negeri, perlu selalu dimonitor. Di samping itu organisasi luar dan dalam negeri, perlu selalu dimonitor. Disamping nitu organisasi sekarang lebih bercorak desentralisasi, dengan banyak agen-agen atau cabang-cabang penjualan dan kantor-kantor pemasaran, pabrik-pabrik yang terpisah secara geografis, atau fasilitas-fasilitas penelitian terbesar luas. Semuanya memerlukan pelaksanaan fungsi pengawasan dengan lebih efisien dan efektif.
3. Kesalahan-kesalahan. Bila para bawahan tidak pernah membuat kesalahan, manajer dapat secara sederhana melakukan fungsi pengawasan. Tetapi kebanyakan anggota organisasi sering membuat kesalahan memesan barang atau komponen yang salah, membuat penentuan harga yang terlalu rendah, masalah-masalah didiagnosa secara tidak tepat. Sistem pengawasan memungkinkan manajer mendeteksi kesalahan-kesalahan tersebut sebelum menjadi kritis.
4. Kebutuhan manajer untuk mendelegasikan wewenang. Bila manajer mendelegasikan wewenang kepada bawahannya tanggungjawab atasan itu sendiri tidak berkurang. Satu-satunya cara manajer dapat menentukan apakah bawahan telah melakukan tugas-tugas yang telah dilimpahkan kepadanya adalah dengan menginplementasikan sistem pengawasan.
Tanpa sistem tersebut, manajer tidak dapat memeriksa pelaksanaan tugas bawahan. Kata pengawasan sering mempunyai konotasi yang tidak menyenangkan, karena dianggap akan mengancam kebebasan dan otonomi pribadi. Padahal organisasi sangat memerlukan pengawasan untuk menjamin tercapainya tujuan. Sehingga tugas manajer adalah menemukan keseimbangan antara pengawasan organisasi dan kebebasan pribadi atau mencari tingkat pengawasan yang tepat. Pengawasan yang berlebihan akan menimbulkan birokrasi, mematikan kreativitas, dan sebagainya, yang akhirnya merugikan organisasi sendiri. Sebaliknya pengawasan yang tidak mencukupi dapat menimbulkan pemborosan sumber daya dan membuat sulit pencapaian tujuan.    
6. Tahapan-Tahapan Proses Pengawasan
1. Tahap Penetapan Standar Tujuannya adalah sebagai sasaran, kuota, dan target pelaksanaan kegiatan yang digunakan sebagai patokan dalam pengambilan keputusan. Bentuk standar yang umum yaitu :
a. Standar Phisik
b. Standar Moneter
c. Standar Waktu
2. Tahap Penentuan Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan Digunakan sebagai dasar atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara tepat
3. Tahap Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan Beberapa proses yang berulang-ulang dan kontinue, yang berupa atas, pengamatan l laporan, metode, pengujian, dan sampel.
4. Tahap Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisa Penyimpangan Digunakan untuk mengetahui penyebab terjadinya penyimpangan dan menganalisanya mengapa bisa terjadi demikian, juga digunakan sebagai alat pengambilan keputusan bagai manajer.  
5. Tahap Pengambilan Tindakan Koreksi Bila diketahui dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan, dimana perlu ada perbaikan dalam pelaksanaan.

7. Pengawasan Yang Efektif
Pengawasan yang efektif menurut Sarwoto (2010 : 28) yaitu :
1. Ada unsur keakuratan, dimana data harus dapat dijadikan pedoman dan valid
2. Tepat-waktu, yaitu dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasikan secara cepat dan tepat dimana kegiatan perbaikan perlu dilaksanakan
3. Objektif dan menyeluruh, dalam arti mudah dipahami
4. Terpusat, dengan memutuskan pada bidang-bidang penyimpangan yang paling sering terjadi
5. Realistis secara ekonomis, dimana biaya sistem pengawasan harus lebih rendah atau sama dengan kegunaan yang didapat
6. Realistis secara organisasional, yaitu cocok dengan kenyataan yang ada di organisasi
7. Terkoordinasi dengan aliran kerja, karena dapat menimbulkan sukses atau gagal operasi serta harus sampai pada karyawan yang memerlukannya
8. Fleksibel, harus dapat menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi, sehingga tidak harus buat sistem baru bila terjadi perubahan kondisi
9. Sebagai petunjuk dan operasional, dimana harus dapat menunjukan deviasi standar sehingga dapat menentukan koreksi yang akan diambil
10. Diterima para anggota organisasi, maupun mengarahkan pelaksanaan kerja anggota organisasi dengan mendorong peranaan otonomi, tangung jawab dan prestasi.



Dosen : Marius P Angipora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar